Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat yang dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai oleh dua siswa yang berulah laiknya seorang Rambo. Dengan wajah dingin tanpa belas kasihan, kedua anak itu membrondong temannya sendiri dengan peluru panas. Kejadian ini sungguh menggemparkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televise atau computer (game dan internet) sebagai biangkeladi tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.
Sebenarnya, tudingan yang dilakukan oleh para pakar terhadap media massa terutama televisi sebagai biangkerok tindak kekerasan dan prilaku negatif lainnya sudah berlangsung sejak lama. Sekitar dua dekade musik rock disalahkan sebagai penyebab kasus pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun yang berjudul Beavis dan Butthead dituding sebagai penyebab maraknya kasus pembakaran rumah di mana pelakunya adalah anak-anak muda.
Pengaruh buruk lain TV terhadap anak-anak dan juga remaja tampak sekali pada gaya hidup mereka. Mereka merasa sangat gengsi bila tidak bisa makan makanan yang sering muncul di TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza, hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa saja menjadi makanakan yang sangat luar biasa. Anak-anak ini lebih memilih fast food ketimbang wortel, bayam, kangkung atau tempe goreng.
Memang tak bisa dipungkiri, bahwa televisi hari ini bisa lebih dekat kepada anak daripada orang tuanya. Contoh yang sangat nyata adalah, ketika orang tua (ayah dan ibu)nya pergi bekerja, maka si anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar TV. Hal semacam ini berulang terus hingga anak tersebut hafal semua jenis iklan yang ditampilkan di televisi.
Semakin beranekaragamnya acara yang ditampilkan televisi, maka semakin senanglah anak-anak itu duduk berlama-lama di depannya.
Televisi juga menjadi penyebab kurangnya komunikasi antar orang tua dan anak-anak. Bagaimana tidak, jika orang tua berangkat pagi dan pulang sore, maka alokasi waktu yang dimiliki orang tua kepada anaknya untuk sekedar berbincang-bincang saja rasanya sudah habis. Dari sinilah kerenggangan demi kerenggangan antara anak dan orang tua mulai tumbu, perlahan tapi pasti. Karena itu, orang tua sebaiknya memperhatikan sekali apa yang diinginkan anak-anaknya. Bagaimana cara menyenangkan hati mereka. lebih dari itu adalah sudah menjadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya agar terhindar dari dekadensi moral yang disebabkan oleh tayangan-tayangan televisi.
Televisi ibarat dua mata pisau. Di sisi lain, televisi memang sangat baik untuk menjaring informasi. Tapi di lain sisi, televisi mampu menjadi monster pembunuh yang berdarah dingin. Perlahan tapi pasti televisi mampu 'menggenggam' tumbuh kembang anak-anak dalam kesehariannya. Akibatnya, anak-anak lebih cenderung menjadi sama persis seperti apa yang sering dilihatnya selama di layar televisi.
Kelebihan Televisi
Pada dasarnya, media cetak itu lebih menitikberatkan pada sasaran intelektual seseorang. Tetapi tidak halnya dengan televisi. Yang menjadi sasaran utama televisi adalah emosional (perasaan) seseorang. Dengan kata lain, pembaca media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan sebagainya yang bermain lebih dominant adalah akalnya, sementaras penonton televisi lebih pada perasaannya. Karena itu, suatu hal yang sangat wajar bila anak-anak atau bahkan orang dewasa sekalipun terkadang sering mengikuti gaya seseorang yang ada dalam televisi yang dilihatnya.
Karena itu pula, televisi mampu menyulap sikap dan prilaku masyarakat, terutama pada anak-anak.
Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa (radio, surat kabar, majalah, buku dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (live) yang bisa bersifat informatif, hiburan, ekonomi, pendidikan, atau bahkan gabungan ketiga unsur tersebut. Ekspresi korban bencana alam tsunami di Aceh beberapa tahun lalu misalnya, bisa terungkap dengan lengkap lewat layar televisi, tidak lewat koran atau majalah juga radio. Sorak sorai supporter piala dunia 2006 baru-baru ini, demonstrasi para mahasiswa yang menolak kenaikan SPP di Makasar beberapa hari lalu, atau ratapan rakyat Palestina sampai hari ini yang menjadi bulanan tentara Israel bisa kita saksikan lewat kotak ajaib yang bernama televisi.
Dari sisi penontonnya, sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, petani sampai pejabat tinggi yang ada di kota-kota bisa menyaksikan acara-acara yang sama dalam televisi. Tidak hanya itu, penonton juga bebas memilih stasiun-stasiun televisi yang disenangi lengkap dengan tampilan acara-acara yang sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga sebagai media hiburan, televisi dianggap sebagai media hiburan yang ringan dan murah meriah.
Selain itu, kelebihan lain dari televisi adalah sebagai media pendidikan.
Pesan-pesan edukatif dalam aspek kognitif, apektif, dan psikomotor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus lagi, program-program televisi bisa dirancang untuk menjadi media pembelajaran. Dalam hal ini misalnya televisi bisa menampilkan bagaimana cara merakit sepeda motor, bagaimana dampak merokok pada kesehatan manusia. Semua itu bisa ditampilkan dalam televisi. Pesan lain sebagai media pendidik, televisi bisa lebih memberikan kesan yang penuh makna secara khusus kepada peserta didik, misalnya dengan teknik close up, penggunaan animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, dan trik-trik lainnya yang bisa menimbulkan kesan tertentu sehingga tujuan bisa dicapai.
Melihat kelebihan televisi yang mampu memberi perubahan kepada masyarakat luas, menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro memiliki anggapan bahwa televisi mampu menjadi wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyarakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan prilaku destruktif lainnya. Jadi secara umum kontroversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu pertama, tayangan televisi yang yang dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada. Kedua, televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru dalam masyarakat termasuk lingkungan anak.
Dampak Tayangan Televisi Terhadap Anak
Gencarnya tayangan televisi yang beraneka ragam cukup membuat para orang tua khawatir akan nasib anak-anaknya beberapa tahun kedepan. Pak Yanto misalnya mengungkapkan keluhannya. Katanya, "Tayangan televisi hari ini sungguh sama sekali tidak mendidik bagi anak. Dari mulai tampilan seronok sampai masalah-masalah klenik," ungkapnya geram. Ungkapan Bapak yang tinggal di tinggal di Cileungsi ini tak salah.
Sebab kenyataannya memang demikian, televisi bukan lagi sebagai media pendidik malah menjadi perusak moral. Televisi bukan lagi menjadi tontonan yang bisa menuntun kearah kebaikan malah sebaliknya kepada keburukan.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan kepada anak-anak relatife kecil, hanya sekitar 2,7 – 4,5 % dari total tayangan yang ada. Namun yang lebih mengkhawatirkan lagi bagi para orang tua adalah ternyata persentase yang sekecil ini pun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak.
Jika kita perhatikan, maka tayangan-tayangan yang banyak ditujukan untuk anak-anak adalah kartun-kartun yang meniadakan pesan sosial yang konstruktif. Malah sebaliknya tayangan untuk anak-anak itu seoalah sengaja diciptakan untuk mengubah kebaikan menjadi keburukan. Lihat saja tampilan tokoh-tokoh kartun yang bersifat antagonis yang menampilkan kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, dan intrik-intrik kejahatan lainnya.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Handayani (1997) terhadap film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4% daripada adegan prosisial 41,6%). Hal ini sungguh ironis sekali, karena film bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa kategori perlakuan antisocial yang paling sering muncul berturut-turut adalah kata-kata kasar 38,56%, mencelakakan 28,46%, dan pengejekan 11,44%. Sementara itu kategori prososial, prilaku yang kerap kali muncul adalah kehangatan 17,16%, kesopanan 16,05%, empati 13,43%, dan nasihat 13,06%.
Membaca hasil penelitian di atas, maka sangat mungkin sekali anak-anak akan terpengaruh oleh tayangan-tayangan yang mampu menciptakan moralitas yang buruk. Gencarnya tayangan semacam di atas, membuat para orang tua semakin khatir memikirkan prilaku anak-anaknya yang semakin menjadi-jadi. Karena manusia adalah makhluk yang suka meniru dan imitatif, maka tak heran anak-anaklah orang yang lebih menonjol memiliki sifat tersebut.
Adanya kasus pembunuhan, pelecehan seksual, pencurian, tawuran dan tindakan kriminalitas lainnya yang dilakukan oleh remaja tak lain adalah buah dari tontonan yang ditampilkan televisi secara bebas. Akibatnya tentu bukan hanya keluarga atau masyarakat yang merasakan getahnya tapi juga negara bisa merasan dari sifat dan sikap negatif para remaja ulah televisi.
menghindari acara-acara televisi yang tidak mendidik, maka peran serta keluarga terutama orang tua sangat diharapkan. Sebenarnya, orang tua bisa membuat jadwal khusus kapan anak-anak harus menonton televisi dan kapan saatnya harus belajar. Selain itu, penanaman nilai agama sejak dini sudah harus dilakukan agar bekal itu bisa menjadi kendali anak dalam menimbang mana yang baik dan yang buruk.
Bahkan orang tua harus menjadi teladan yang pertama dalam mendidik anak-anaknya bila tak mau anak-anaknya mengambil teladan dari para tokoh kartun yang dikonsumsinya. Jadi, peran orang tua adalah harus mampu mewaspadai tayangan-tayangan televisi yang bisa merusak moralitas anaknya. Sebab anak adalah cikal bakal pemimpin masa depan.
Rabu, 28 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.