Tidak ada wartawan yang netral. Demikian ungkap Bill Kovack dalam bukunya Element of Journalism. Apalagi wartawan perang, karena perang adalah propaganda. Ironisnya, ketidaknetralan ini dilakukan oleh stasiun televisi Al Jazeera, yang terlanjur di cap Islami. Parahnya, stasiun televisi asal Qatar dengan motto “Being The Channel of The Opinion and The Other Opinion” ini telah mempermalukan diri dengan berbalik ke pihak pasukan salib dan munafik serta kaum pembunuh dan pengkhianat Iraq. Pasalnya, Al Jazeera memanipulasi pembicaraan Syekh Usamah bin Ladin dan membelokkan pesan dari poin-poin yang beliau sampaikan. Kenapa Al Jazeera bisa melakukan hal tersebut ?
Al Jazeera Sayang Al Jazeera Malang
Al Jazeera, pada awalnya menjadi kebanggaan kaum muslimin. Kita tentu masih ingat ketika pasukan kuffar Amerika Serikat memulai invasi ke Irak pada tahun 2003 dimana mereka (pasukan AS) tidak hanya mengandalkan peralatan perang yang canggih. Amerika dan Inggris, telah memanfaatkan propaganda perang melalui jaringan media sekuat CNN, Fox, News, atau NBC. Saat itu, stasiun televisi Al Jazeera adalah satu-satunya setasiun televisi yang memberikan informasi ‘berimbang’ bahkan terkesan lebih memihak kepada mujahidin Iraq.
Station AlJazeera
Di awal invasi kuffar Amerika ke Iraq tersebut masyarakat mengenal istilah Embedded Journalist: wartawan “melekat” di dalam militer. Ada sekitar 500-an wartawan yang ikut serta dalam konvoi militer pasukan koalisi. Petinggi militer AS sejak awal menyadari bahwa media harus diperhatikan selain operasi militer itu sendiri. Dalam Perang Teluk pertama, AS memakai sistem pool: wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu ia meliput dengan bantuan dari militer, baru berikutnya wartawan diajak serta dalam ‘perang’. Tentu saja ketidaknetralan dan distorsi informasi menjadi menu sehari-hari para wartawan tersebut. CNN misalnya, selalu menggunakan kata our soldiers dan menampilkan kehebatan dan kecanggihan peralatan perang pasukan koalisi yang dipimpin kuffar Amerika.
Al-Jazeera, berdiri tahun 1996 dan sempat menjadi hero di Timur Tengah, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Al Jazeera menjadi fenomenal ketika stasiun televisi ini berani melawan mainstream media yang memihak Barat. Di saat propaganda perang hanya disiarkan oleh CNN, Fox, NBC, Al Jazeera menerobos dan memberikan alternatif pilihan informasi. Al-Jazeera juga dianggap mampu untuk mengamati perang secara langsung dan faktual di lapangan.
Al Jazeera bahkan terus mempeluas cakupan penyiarannya dengan membuka Al Jazeera English, saluran berita berbahasa Inggris yang merupakan bagian dari Al Jazeera Network. Al Jazeera English sendiri merupakan saluran berita berbahasa Inggris pertama yang berkantor pusat di Timur Tengah. Beritanya disiarkan dari Timur Tengah.
Al Jazeera English ini memiliki pula agenda berita yang menjembatani keragaman antarbudaya. Sebagai satu-satunya saluran yang meliput berbagai peristiwa di Timur Tengah dan disiarkan dari titik pusat strategis dunia seperti Doha, Kuala Lumpur, London, dan Washington DC, Al Jazeera English lahir sebagai penyeimbang pemberitaan dari Selatan ke Utara yang disajikan secara akurat, menyeluruh, dan objektif untuk seluruh lapisan masyarakat di dunia. Begitu promosi Nelia M Sutrisno, chief executive officer (CEO) Astro ketika melaunching Al Jazeera English di Indonesia.
Al Jazeera Pembohong
Hanya saja, Al-Jazeera sendiri, sebagaimana industri pers pada umumnya, tetap mendewakan rating dan tunduk pada aturan dan paksaan dari rezim berkuasa dimana dia berada. Hampir semua TV swasta di dunia bekerja untuk mencari rating. Ini bisnis dan bukan fenomena baru. Sementara itu, posisi Al Jazeera bermarkas di Qatar dan pemerintahannya, mendukung invasi kuffar AS ke Iraq. Di sisi lain Al Jazeera juga harus melayani pemirsa Timur Tengah yang hampir semua audience-nya tak setuju invasi kuffar Amerika ke Iraq.
Akhirnya, Al-Jazeera dihadapkan kepada pilihan ideologis, ikut selera ‘pasar’ dan itu berarti lebih mendukung mujahidin Iraq dan kaum muslimin atau ikut arahan dan kebijakan rezim Qatar yang mendukung invasi kuffar AS ke Iraq dan koalisi pasukan salib. Kalau kita lihat seluruh pemerintahan Timur Tengah sekarang ini, sebagian besar menyetujui invasi AS, seperti Mesir, Arab Saudi, Qatar, Emirat Arab, dan negara-negara Teluk pada umumnya menyetujui perang karena menilai Irak sebagai ancaman.
Mereka, rezim-rezim pemerintahan Timur Tengah juga dikenal ‘gerah’ dengan sepak terjang mujahidin Irak khususnya, dan jihad global pada umumnya.
Pada perkembangan berikutnya Al Jazeera bahkan mendapat kepercayaan untuk ‘masuk’ lebih jauh ke kubu mujahidin. Sayangnya kepercayaan ini tidak dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh Al Jazeera. Tayseer Allouni, wartawan Al Jazeera, pernah mendapatkan kesempatan eksklusif mewawancarai Syekh Usamah bin Ladin pada tanggal 21 Oktober 2001 di sebuah tenda di daerah Kabul, Afghanistan. Sayangnya, Al-Jazeera menolak untuk menyiarkan hasil wawancara tersebut karena alasan-alasan yang tidak masuk akal.
Larangan menayangkan fakta dan pesan-pesan dari Syekh Usamah bin Ladin, pemimpin mujahidin global di garis terdepan, senada dengan kebijakan kuffar AS, yang mengaku sebagai negara yang menerapkan kebebasan pers. Condoleesa Rice, Menlu kuffar AS pernah menelpon para eksekutif media di AS agar tidak menayangkan ceramah-ceramah dan sepak terjang Syekh Usamah bin Ladin sebagai bagian dari global cencorship ‘pembatasan (informasi) global’ yang sudah terjadi pasca tragedi 11 September 2001.
Al Jazeera dan Penyesatan Opini
Pemikir asal AS, Walter Dickman, mengatakan bahwa dalam perang seringkali media bukan menampilkan apa yang terjadi, tapi apa yang dikehendaki publik untuk terjadi. Dalam konteks Islam, Surat al Hujuraat ayat 6 memberikan kode etik tabayyun atau cek dan ricek untuk setiap informasi yang datang kepada kita, terutama apabila informasi itu datang dari orang-orang fasik, apalagi kafir.
Hal ini karena dalam percaturan opini publik, masalah pokoknya adalah bahwa masyarakat menerima fakta bukan sebagaimana adanya, tetapi apa yang mereka anggap sebagai fakta. Jadi, ada kesenjangan antara fakta sebenarnya dan “apa yang dianggap sebagai fakta” yang oleh Walter Lipmann dalam bukunya Opini Umum disebut sebagai “kenyataan fatamorgana” atau “lingkungan palsu”.
Fakta semu atau kenyataan fatamorgana hasil manipulasi media itulah yang kemudian dianggap fakta oleh publik. Kenyataannya, publik tidak mungkin atau sangat sulit untuk melihat langsung seluruh fakta yang disajikan oleh media massa, padahal fakta semu adalah hasil rekayasa media massa yang telah mengalami proses reporting, editing, bahkan manipulasi baru kemudian dipublikasi. Pada setiap tingkatan proses tersebut, setiap berita atau fakta telah diseleksi oleh personil pers.
Penyesatan opini atau pemelintiran fakta dan manipulasi berita inilah yang sayangnya dilakukan oleh stasiun televisi Al Jazeera. Pesan Syekh Usamah bin Ladin yang dimanipulasi tersebut disiarkan dalam sebuah pesan suara yang disiarkan televisi Al Jazeera pada hari Senin, 22/10/2007. Dalam pesan yang ditujukan pada “Saudaraku para pejuang di Irak”, Syekh Usamah mendesak kelompok-kelompok mujahidin menunaikan kewajiban mereka untuk bersatu “sehingga mereka menjadi satu, seperti yang dikehendaki Allah”. “Saudara-saudaraku, para amir mujahidin, muslim menunggu kalian untuk bersatu di bawah satu bendera sehingga keadilan bisa ditegakkan,” kata Usamah dalam rekaman suara itu.
Pesan Syekh Usamah bin Ladin itu aslinya berisi nasihat untuk kaum muslimin Iraq secara umum dan kepada mereka yang ikhlas menjadi mujahidin secara khusus. Mereka diingatkan untuk mengabaikan perbedaan diantara mereka, mereka juga dinasihati untuk menerapkan hukum Allah dan diingatkan untuk berhati-hati terhadap peryataan-peryataan dari ulama semenanjung Arab.
Mereka menyatakan diri ulama akan tetapi mereka menggadaikan diri pada tiran-tiran penguasa, menyembunyikan kebenaran, menyebarkan kebencian terhadap mujahidin dan mengambil bagian untuk berperang melawan mereka. Pada waktu yang sama mereka memetik nama baik dari para murtadin dan sekutu mereka, mereka mengeluarkan fatwa-fatwa agar masyarakat bergabung dengan pasukan Negara dan polisi. Syekh Usamah juga berbicara tentang perencanaan jihad dan menyemangati penduduk Sudan agar berperang melawan penjajah yang merebut tanah mereka.
Tetapi kemudian, pesan-pesan dan berita itu dimanipulasi oleh Al Jazeera. Editor stasiun televisi Al Jazeera telah memalsukan fakta dengan membuat pidato Syekh Usamah bin Ladin seolah-olah hanya ditujukan kepada saudara-saudara dan mujahidin Al Qaidah saja. Pidato itu seolah-olah sebagai awal peryataan kesalahan mereka (Syekh Usamah bin Ladin dan Al Qaidah), perubahan jihad mereka dan ketaatan mereka. Ironisnya, Al Jazeera juga mengajak setiap pembunuh jahat dan mereka yang dianggap ahli dan pakar terorisme untuk berkomentar, setidaknya pada separuh dari rekaman yang telah mereka distorsi.
Dalam bukunya Penyesatan Opini, Adian Husaini menyebutkan bahwa dalam proses reporting, seorang reporter telah melakukan seleksi terhadap fakta yang diperolehnya. Reporter TV, misalnya, harus memilih dan memotong acara yang berlangsung selama berjam-jam untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita TV yang durasinya hanya sekitar 15 atau 30 detik. Reporter media cetak juga menyeleksi dan memotong ucapan-ucapan atau fakta-fakta yang diterimanya untuk disajikan menjadi berita yang panjangnya hanya beberapa kolom saja.
Ucapan presiden atau menteri selama satu jam yang jumlahnya sekitar 60.000 kata, harus ditulis oleh seorang reporter dengan panjang tulisan sekitar 4.000 – 7.000 kata saja. Hal ini tentu menimbulkan distorsi yang luar biasa. Jadi tidak salah jika Alvin Tofler dalam bukunya Powershift mengatakan wajarlah jika di seluruh dunia terjadi pertempuran untuk merebut kontrol terhadap pengetahuan dan alat-alat komunikasi.
Al Jazeera mungkin ingin menerapkan norma-norma dan standar jurnalisme yang standar, mengcover semua opini dari kedua belah pihak yang berperang. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, etika cover both tidaklah pernah bisa diterapkan secara nyata, karena selalu ada keberpihakan wartawan dimana pun dan kapan pun, apalagi wartawan perang. Karena ketika cover both itu dilaksanakan, dengan menampilkan pendapat kedua pihak dan analisis-analisis para pakar, maka pasti ada maksud dan tendensi serta pengarahan kepada sebuah opini tertentu.
Dengan demikian, Al Jazeera telah salah langkah. Selain menyalahi kode etik jurnalistik dan mengkhianati motto mereka, direktur Al Jazeera juga telah memperburuk citra stasiun televisi mereka yang awalnya mendukung Islam dan mujahidin menjadi pendukung koalisi pasukan salib dan munafik Iraq. Sungguh disayangkan. Di sisi lain, mereka gagal untuk memberi peringatan kepada umat agar tidak terjun dalam permainan politik, seperti yang disampaikan kepada para pemimpin kelompok jihad (oleh Syekh Usamah bin Ladin) untuk menolak dan menghindari perbuatan-perbuatan penyembah berhala seperti pemilu dan parlemen.
Mereka (Al Jazeera) telah mengabaikan peryataan Syekh Usamah agar berhati-hati terhadap kaum munafik yang mencoba menikam punggung para mujahidin dan menyebar fitnah diantara mereka. Dalam pesan tersebut, Syekh Usaman bin Ladin juga menyeru kepada kepala-kepala suku untuk berperang dan bersabar hanya karena Allah SWT ; beliau juga berdoa kepada suku Diyala, wilayah spesial dimana lahirnya Negara Islam Iraq.
Al Fajr Media Center, sebuah media informasi milik Daulah Islamiyyah Iraq (Negara Islam Irak) secara khusus melakukan klarifikasi atas manipulasi yang dilakukan oleh Al Jazeera terhadap pesan Syekh Usamah bin Ladin dengan merilis sebuah berita pada tanggal 24 Oktober 2007. Al Fajr Media Center sangat menyayangkan sikap yang dilakukan Al Jazeera dan menanyakan dimana netralitas Al Jazeera ketika memanipulasi pesan Syekh Usamah bin Ladin ? Apakah masih ada kehormatan kode etik jurnalistik pada Al Jazeera ? Atau mereka memang telah berubah dan kini mengikuti tren musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan mujahidin untuk memenangkan pasukan salib ? Al Jazeera telah kehilangan kredibilitasnya dan dengan ini Al Fajr Media Center meminta kepada semua media yang berkompeten, stasiun-stasiun televisi satelit, kantor-kantor berita dan sejenisnya untuk menerapkan prinsip netralitas dalam pemberitaan mereka tentang mujahidin dan harus menghilangkan sejauh-jauhnya penyesatan opini.
Perang Media Media Perang
Perang adalah propaganda. Sesuatu yang umum bagi musuh untuk menyebarkan propaganda dan dengan pelbagai macam cara akan membenarkan agresi yang mereka lakukan. Ironisnya, kaum muslimin masih banyak yang mengandalkan media kuffar dan tertipu oleh propaganda musuh melawan Mujahidin dan aktifis Islam.
Media kuffar dengan segenap kekuatan dan kecanggihan mereka secara terus menerus, selama 24 jam melakukan propaganda untuk membuat kaum muslimin yakin bahwa orang-orang yang menyerukan penerapan Negara Islam, melaksanakan Syari’ah dan Jihad melawan ‘salibis’ adalah perbuatan yang sadis, haus darah, tidak berperikemanusiaan, dan tidak memperhatikan kehidupan dan kemakmuran ummat manusia.
Mereka juga mengklaim bahwa Mujahidin di Iraq, Afghanistan dan di lain tempat secara sengaja menargetkan wanita dan anak-anak, dan mendatangkan malapetaka di muka bumi, menghancurkan sekolah, rumah sakit, jembatan, gedung-gedung dan jalanan.
Semua ini akibat perang media yang dilancarkan oleh media perang. Informasi dunia saat ini digenggam oleh kantor-kantor berita utama, semisal Associated Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, Agency France Press (AFP), dan TASS.
Seberapa besar kekuatan media kuffar ini bisa kita ambil contoh Reuters. Kantor berita Reuters memiliki lebih 1.100 wartawan, fotografer, dan juru kamera yang tersebar di 79 negara. Informasi yang disebarkan Reuters disampaikan melalui 145.000 terminal dan teleprinter yang langsung dihubungkan dengan computer kliennya. Layanan diberikan dalam bahasa Inggris, Perancir, Jerman, Spanyol, Arab, Jepang, Denmark, Norwegia, Belanda, Swedia, Portugis, dan Italia.Lebih dari lima juta kata yang berhubungan dengan teks berita diproses setiap hari melalui computer pengatur pesan di kantor editorial London, padahal Reuters masih memiliki pusat editing lain di Hongkong dan New York, yang juga bekerja 24 jam sehari. Visnews yang merupakan kantor berita televise terbesar di dunia adalah anak perusahaan Reuters. Lalu, bagaimana kaum muslimin bisa memenangkan perang media melawan ‘raksasa’ media ini ?
Solusinya adalah tinggalkan media kuffar dan beralihlah ke media Islam, sebagaimana slogan Ar Rahmah Media, Filter Your Mind Get The Truth. Ini adalah sebuah langkah awal yang baik. Langkah berikutnya adalah perbanyak media-media Islam, media jihad, yang memberitakan secara benar apa dan bagaimana kondisi jihad global. Prosentase kontrol informasi dunia saat ini memang timpang dan masih dipegang media kuffar Barat dengan produksi rata-rata 6 juta kata per hari, sementara Islam hanya mampu memproduksi 500 ribu kata per hari.
Alhamdulillah, saat ini media jihad global terus tumbuh dan berkembang menandingi media kuffar Barat seperti AFP, CNN, BBC, The Times, The Guardian, dan lain-lain. Kaum muslimin mulai akrab dengan media-media jihad global semacam As Shabab Media, Al Fajr Media Center, forum Al Ikhlas, Forum Al Firdaus, Forum Sawtul Islam, Situs Kavkaz Center, Islam Portal, dan banyak lagi yang lainnya untuk skala internasional, serta Ar Rahmah Media, Al Muhajirun, As Sofwah, untuk skala nasional. Pilihan kembali berpulang kepada umat Islam apakah mereka terus setia dan mendukung serta mempercayai setiap berita dan informasi yang dirilis oleh media kuffar ? Atau mereka sudah bisa dan mulai terbiasa untuk akhirnya mendukung media-media jihad global Islam dalam memperoleh informasi tentang kaum muslimin dan jihad global. Wallahu’alam bis Showab!
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” (QS Al Hujuraat : 6). [sumber: www.arrahmah.com]
Sabtu, 20 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.