Senin, 29 Maret 2010

Tiga Perkara Agar Hati Tidak Dengki

Menjadi manusia tentu saja harus berusaha mencapai derajat yang tinggi, apalagi sudah begitu banyak kenyataan yang menunjukkan banyaknya manusia dengan derajatnya yang rendah, bahkan sampai lebih rendah dari binatang. Derajat manusia yang tinggi tercermin dari akhlak pribadinya yang mulia, karena itu salah satu yang amat penting dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa adalah jangan sampai hati kita terserang penyakit iri hati atau dengki. Hal ini karena iri hati merupakan salah satu sifat yang sangat buruk, ia menjadi orang yang senang melihat orang susah dan sedih melihat orang senang.

Rasulullah saw memberikan resep kepada kita agar tidak dengki, beliau bersabda: “Semoga Allah mengangkat derajat seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang tidak fakih. Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang mukmin tidak akan ditimpa dengki: mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka, karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka” (HR. Bazzar). Dari hadits di atas, ada tiga resep dari Rasulullah saw agar kita tidak memiliki perasaan dengki :

1. Ikhlas
Secara harfiyah, ikhlas artinya bersih, murni dan tidak ada campuran. Maksudnya adalah bersihnya hati dan pikiran seseorang dari motif-motif selain Allah dalam melakukan suatu amal.

Orang yang ikhlas adalah orang yang melakukan sesuatu karena Allah dan mengharapkan ridha Allah SWT dari amal yang dilakukannya, inilah amal yang bisa diterima oleh Allah SWT. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena Dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhaan-Nya ” (HR. Ibnu Majah).

Keikhlasan akan membuat jiwa seseorang terasa ringan dalam menyikapi sesuatu, maka ketika orang lain mendapatkan kesenangan, dia akan turut merasakan kesenangan meskipun ia tidak mendapat bagian dari kesenangan itu, sedangkan bila orang lain susah, ia turut merasakan kesusahan, bahkan siap menanggung kesusahan orang lain, sikap ini membuat seseorang tidak akan iri hati kepada orang lain.

Dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, keikhlasan akan membuat seseorang terhindar dari kedengkian kepada orang lain meskipun secara duniawi ia tidak mendapatkan apa-apa, karena ia melakukan suatu kebaikan karena Allah dan hanya ingin mendapatkan ridha Allah swt.

Karena itu, ketika orang lain mendapatkan keuntungan duniawi dari kebaikan yang dilakukan, ia turut senang meskipun ia sendiri tidak mendapatkannya meskipun ia melakukan kebaikan yang sama. Orang yang tidak ikhlas tentu saja akan kecewa berat bila ia tidak mendapatkan keuntungan duniawi, sementara orang lain memperolehnya apalagi dalam jumlah yang banyak.

Sikap ini merupakan sesuatu yang amat merugikan diri kita sendiri, karena apa yang menyebabkan kita iri tidak kita peroleh, sedangkan nilai kebaikan dari apa yang kita lakukan tetap tidak kita peroleh.

2. Menasihati Pemimpin
Memberi nasihat kepada penguasa, pemimpin atau pemerintah merupakan keharusan kita semua, sebagai masyarakat dari suatu bangsa. Karenanya kritik tidak hanya urusan pengurus partai politik dan anggota DPR/MPR. Pemimpin pada dasarnya memang harus ditaati, namun hal itu sebatas dalam soal-soal yang benar, karena itu ketaatan pada pemimpin tidaklah bersifat mutlak, isyarat ini bisa kita tangkap dengan tidak digunakannya kata atiy’u kepada ulil amri, padahal kata itu digunakan untuk menunjukkan ketaatan yang bersifat mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin diantara kamu ” (QS An Nisa [4]:59).

Meskipun kita harus melakukan kritik kepada pemimpin, tetap saja kritik itu harus kita sampaikan dengan sebaik-baiknya, yakni kata-kata yang lemah lembut. Nabi Musa dan Harun saja untuk mengingatkan Fir’aun harus dengan kata-kata yang baik, karena pada hakikatnya kritik itu untuk mengingatkan penguasa dari kemungkinan melakukan kesalahan atau kesalahan yang sudah dilakukannya sehingga nantinya menjadi penguasa yang takut kepada Allah swt, hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur’an: “Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut ” (QS. Thaha [20]:44)

Dengan demikian, nasihat dan kritik yang benar kepada penguasa atau pemimpin adalah yang tulus, nasihat dan kritik yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran bukan nasihat dan kritik yang berorientasi pada kepentingan sesaat. Nasihat yang membawa kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, watawashou bil haq, watawashou bish shobr dan watawashou bil marhamah.

Manakala kita sudah memberikan nasihat kepada pemimpin, maka hati kita tidak ada perasaan dengki kepada pemimpin karena tanggungjawab dihadapan Allah SWT ada pada masing-masing orang.

Pemimpin yang baik akan sangat senang bila ada orang lain yang memberikan nasihat kepadanya, karena ia yakin nasihat itu punya maksud baik, bahkan jangankan nasihat, kritikpun akan diterima dengan senang hati, bagaimanapun cara orang mengkritik atau dengan gaya bahasa yang tidak enak sekatipun untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan. Pemimpin sejati selalu berusaha menangkap esensi pembicaraan siapapun sehingga tidak mempersoalkan gaya orang bicara, meskipun gayanya tidak rnenyenangkan.

3. Memiliki Ikatan Jamaah
Memiliki ikatan jamaah dalam kerangka ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam merupakan sesuatu yang harus dikembangkan. Ini merupakan salah satu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita sebagaimana firmanNya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kami dahulu (masa jahiliyah) bercerai berai, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmatAllah orang-orang yang bersaudara ” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Ikatan jamaah yang kuat membuat seseorang berjuang secara kolektif, sehingga tidak ada jurang pemisah antara yang satu dengan lainnya. Prinsip yang dipegangnya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dalam jamaah ada pemimpin dan ada orang yang dipimpin.

Pemimpin dan anak buah akan berjalan serasi manakala memegang prinsip berjamaah dengan baik, yakni qiyadah mukhlishah (pemimpin yang ikhlas) dan jundiyah muti’ah (anak buah yang taat). Oleh karena itu, bila dalam suatu jamaah tidak ada ketaatan yang ditunjukkan oleh anak buah atau bawahan, salah satu yang harus dikoreksi oleh seorang pemimpin adalah apakah dia memang sudah betul-betul ikhlas atau tidak.

Dalam kehidupan berjamaah, berkembang banyak pemikiran, pendapat, bahkan kepentingan. Maka ikatan jamaah yang dipegang erat membuat semua orang akan selalu merujuk pada kaidah-kaidah berjamaah yang didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah sehingga ia tidak menafsirkan segala ketentuan berjamaah untuk kepentingan yang bersifat duniawi yang membuat ikatan berjamaah bisa menjadi kendor.

Manakala sifat iri hati sudah bisa kita hilangkan, maka kehidupan pribadi, keluarga, jamaah, masyarakat dan bangsa akan berlangsung dengan penuh kenikmatan, keakraban, persatuan sehingga jauh dari permusuhan antar individu dan kelompok. Bila tidak bisa kita hilangkan, maka iri hati telah menunjukkan kehidupan dunia yang penuh dengan pertentangan, konflik hingga peperangan yang membunuh begitu banyak nyawa manusia dan binatang serta merusak lingkungan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.