SYARIAT ialah amalan-amalan lahir yang diperintahkan kepada umat Islam baik wajib maupun sunat. Dan apa saja yang dilarang baik yang haram atau makruh termasuk juga amalan-amalan yang kedudukannya mubah.
Syariat lahir terbagi dua :
1. Hablumminallah
2. Hablumminannas
Hablumminallah ialah amalan-amalan yang termasuk persoalan ibadah. Contohnya solat, puasa, zakat, haji, baca Al Quran, doa, zikir, tahlil, selawat dan lain-lain.
Hablumminannas ialah amalan-amalan lahir kita yang termasuk dalam bidang-bidang muamalat (kerja-kerja yang ada hubungannya dengan masyarakat), munakahat (persoalan kekeluargaan) dan jenayah serta tarbiah Islamiah, soal-soal siasah, fisabilillah, jihad dan persoalan alam beserta isinya.
Sedangkan HAKIKAT ialah amalan batin yang diperintahkan ataupun yang dilarang oleh Allah SWT kepada umat Islam. Amalan yang diperintahkan, dikenal sebagai sifat mahmudah (sifat-sifat terpuji) dan yang dilarang ialah sifat mazmumah (sifat-sifat terkeji).
Hakikat juga terbagi dua :
1. Berakhlak dengan Allah
2. Berakhlak dengan manusia
Bentuk-bentuk akhlak dengan Allah di antaranya ialah :
Mengenal Allah dengan yakin
Merasakan kehebatan Allah
Merasa gentar dengan Neraka Allah
Merasa senantiasa diawasi oleh Allah
Merasa hina diri dan malu dengan Allah
Merasa redha terhadap setiap takdir dan ketentuan Allah SWT
Sabar dengan berbagai ujian Allah
Mensyukuri nikmat-nikmat pemberian Allah
Mencintai Allah
Merasa takut pada Allah atas kelalaian dan dosa-dosa
Tawakal kepada Allah
Merasa harap pada rahmat Allah
Rindu pada Allah
Senantiasa mengingat Allah
Rindu pada syurga Allah karena ingin bertemu dengan-Nya
Bentuk-bentuk akhlak kepada manusia :
Mengasihinya sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri
Merasa gembira di atas kegembiraannya dan turut berdukacita karena
kedukacitaannya
Menginginkan kebahagiaan untuknya di samping berharap agar musibah menjauhinya
Benci pada kejahatannya tetapi kasihan pada dirinya hingga timbul perasaan
untuk menasehatinya
Pemurah padanya
Bertenggang rasa dengannya
Mengenang jasanya dan berusaha membalasnya karena Allah
Memaafkan kesalahannya dan sanggup meminta maaf atas kesalahan padanya
Kebaikannya disanjung dan diikuti, kejahatannya dinasehati dan dirahasiakan.
Lapang dada berhadapan dengan macam-macam manusia, Bersikap baik sangka kepada sesama orang Islam. Tawadhuk dengan sesama manusia.
Keduanya, syariat dan hakikat adalah perkara yang sangat penting untuk membentuk pribadi yang benar-benar bertakwa dan terlepas dari sifat-sifat munafik.
Kita wajib mengamalkan keduanya secara serentak dan seiring. Namun mesti diakui bahwa tidak mudah bagi kita untuk mengamalkannya.
Allah SWT menjelaskan hal itu dengan firman-Nya dalam surah Al Baqarah :
Terjemahannya : "Mintalah bantuan dalam urusanmu dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu adalah sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa kepada-Nya lah mereka akan kembali." (Al Baqarah : 45)
Allah SWT mengatakan untuk menjadi orang yang sabar itu susah dan untuk menjadi orang-orang yang tetap mengerjakan shalat itu juga susah. Maknanya amalan lahir dan batin itu memang susah untuk diamalkan. Tetapi hal itu menjadi mudah bila kita dapat memiliki sesuatu yang lebih penting dari keduanya yaitu rasa khusyuk dengan Allah (rasa diawasi Allah setiap masa), yakni yakin dengan pertemuan dan pengembalian diri ke hadirat Allah SWT di akhirat nanti.
Dari situ kita akan faham bahwa di antara amalan lahir dan batin, yang mesti diberatkan dan didahulukan pada diri kita ialah amalan batin. Kita berusaha dulu mendapatkan rasa khusyuk atau yakin akan kewujudan Allah serta pertemuan kembali kita dengan-Nya di satu hari nanti, barulah kita akan memiliki kekuatan untuk mengamalkan syariat dan hakikat.
Tanpa rasa khusyuk itu, kita tidak akan dapat mengalahkan hawa nafsu dan syaitan yang senantiasa bersungguh-sungguh mengajak kita mendurhakai Allah.
Itulah panduan kita untuk memperjuangkan Islam dalam diri kita. Yang mesti didahulukan ialah berusaha supaya hati kita berubah, dari hati yang tidak kenal Allah kepada hati yang khusyuk dan cinta kepada Allah. Dari hati yang lalai kepada hati yang senantiasa mengingat Allah.
Bila hati sudah cinta pada Allah, kita akan merasa ringan dalam menerima dan mengamalkan syariat Allah lahir dan batin
BUKTI-BUKTI SUSAHNYA MENGAMALKAN AMALAN BATIN
MENGAMALKAN syariat lahir adalah hal yang sulit. Buktinya lihat saja umat Islam hari ini tidak sedikit yang tidak shalat, tidak puasa, tidak membayar zakat, tidak dapat membaca Al Quran, tidak belajar agama, tidak menutup aurat, melakukan pergaulan bebas, ikut sistem riba, berzina, minum minuman keras, menipu, mengadu domba, fitnah-memfitnah dan macam-macam perbuatan yang semuanya sangat bertentangan dengan syariat.
Umat Islam hari ini, yang bangga dengan keIslaman mereka adalah umat Islam yang gagal menegakkan syiar Islam dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat mereka. Bukannya mereka tidak tahu apa itu syariat Islam yang diperintahkan pada mereka, tetapi mereka tidak mampu melaksanakannya. Mereka lemah untuk melawan tuntutan hawa nafsu dan syaitan yang kuat menarik kepada jalan-jalan kejahatan dan kerusakan.
Begitulah susahnya untuk mengamalkan syariat Islam dan itu menjadi masalah besar yang dihadapi oleh mayoritas umat Islam hari ini. Namun, mengamalkan syariat batin jauh lebih susah daripada syariat lahir. Sebab amalan batin merupakan ilmu rasa (zauk) dan bukan ilmu kata, bukan sebutan dan teori tetapi merupakan rasa hati. Bukan saja orang yang lemah syariatnya tidak dapat melaksanakan syariat batin bahkan orang yang syariat lahirnya sudah kuat dan bagus masih belum dapat merasakan dan menghayatinya.
Buktinya dapat kita rasakan sendiri. Meskipun sedikit banyak kita sudah melakukan syariat lahir seperti shalat fardhu, shalat sunat, puasa, zakat, haji, berjuang dan berjihad, belajar ilmu-ilmu agama bahkan mengajar orang lain menutup aurat, berdakwah dan lain-lain, tetapi kita masih lalai dari mengingat Allah dan tidak cinta pada-Nya, tidak ada rasa takut dengan kehebatan Allah serta hina diri dengan Allah. Tidak sabar berhadapan dengan ujian, tidak merasakan kuasa itu di tangan Allah, tidak merasa diri berdosa. Masih suka mengumpat, hasad dengki, cinta dunia, tidak ada rasa belas kasihan, tidak berlapang dada bila berhadapan dengan manusia yang beraneka ragam, sombong, pemarah, pendendam, jahat sangka, serakah, keras kepala, keluh kesah, putus asa, tidak redha dengan takdir, tidak bimbang dengan hari hisab, tidak takut Neraka, tidak rasa rindu dengan Syurga yang penuh kenikmatan.
Kita menganggap kehebatan kita yang membuat diri kita mencapai kejayaan. Kita tidak merasakan bahwa kapan saja Allah bisa datangkan bencana dan mematikan kita. Karena merasa hebat maka kita membuat hutang, gila pangkat, membuat macam-macam rencana, tidak merasa kelemahan diri, tidak senang dengan kata nista orang, tidak senang dengan kelebihan orang yang menandingi kita, rasa menderita dengan kemiskinan, masih benci dengan orang yang tidak beramal (bukan rasa kasihan), masih merasa lebih bila berhadapan dengan orang yang tidak beramal, masih rasa terhina untuk menerima kebenaran dari orang lain, masih berat untuk mengakui kesalahan walaupun sadar kita sudah bersalah.
Jiwa merasa menderita bila dicaci, merasa tenang dan senang hati bila disanjung, merasa bangga bila mendapat nikmat, merasa mau hidup lebih lama lagi dan merasa menderita bila miskin dan papa. Merasa bangga dengan kelebihan diri, merasa terhina dengan kekurangan, tidak pernah puas (cukup) dengan apa yang ada, tidak merasa berdosa (bersalah), tidak merasa dunia kecil dan hina, tidak merasa akhirat besar, tidak menderita bila berbuat dosa atau kesalahan tetapi menderita bila harta dan jabatannya hilang.
Mereka yang bagus dan kuat syariat lahirnya pun masih belum dapat melaksanakan amalan batin (syariat batin) secara istiqamah dan sungguh-sungguh, apalagi yang amalan lahirnya diabaikan sama sekali. Lebih susah bagi mereka mendapatkan amalan batin.
Kalau diumpamakan syariat itu pohon, maka amalan batin adalah buahnya. Orang yang sudah memiliki pohon pun belum tentu memperoleh buahnya (dan kalaupun dapat buah belum tentu enak rasa buahnya), apalagi orang yang tidak menanam pohon sama sekali.
Begitulah perbandingannya orang yang tidak bersyariat. Susah sekali baginya untuk merasakan hakikat. Kalau secara lahir dia tidak dapat tunduk pada Allah, tentu batinnya lebih susah untuk diserahkan pada Allah.
Di antara tanda susahnya mendapat hakikat (amalan batin) ialah:
1. Ketika kita shalat, secara lahir kita berdiri, rukuk dan sujud dengan mulut memuji dan berdoa pada Allah, tetapi kemanakah hati kita (ingatan dan fikiran)? Apakah juga menghadap Allah, khusyuk dan tawadhuk serta rasa rendah dan hina diri dengan penuh pengabdian dan harapan serta malu dan takut kepada Allah SWT? Ataukah hati terbang menerawang ke mana-mana, tidak menghiraukan Allah Yang Maha Perkasa yang sedang disembah?
2. Begitu juga ketika sedang membaca Al Quran, bertahlil, zikir dan wirid, berselawat dan bertakbir, bertasbih dan bertahmid. Adakah ruh kita turut menghayatinya? Atau waktu itu ruh sedang merasakan satu perasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amalan lahir yang sedang dilakukan?
3. Pernahkah kita merasa indah bila sendirian di tempat sunyi karena mengingat Allah dan menumpukan perhatian sepenuhnya pada-Nya, merasa rendah dan hina diri, menyesali dosa dan kelalaian, mengingati-Nya sambil berniat dengan sungguh-sungguh untuk memperbanyak amal bakti pada-Nya?
4. Kalau ada orang Islam yang sakit menderita atau miskin, adakah hati kita merasa belas kasihan untuk membantu atau menolong mendoakan dari jauh agar dia selamat?
5. Pernahkah pula kita menghitung dosa-dosa lahir dan batin sambil menangis karena istighfar kita terlalu sedikit dibandingkan dengan dosa kita yang menyebabkan kita nanti jadi bahan bakar api neraka?
6. Selalukah hati kita senantiasa ingat pada mati yang bisa saja mendatangi kita sebentar lagi, karena memang Tuhan dapat berbuat begitu. Kalau pun kita belum dimatikan, artinya Tuhan menginginkan kita mencoba lagi untuk mencari jalan mendekatkan diri pada-Nya?
7. Pernahkah kita menghitung berapa banyak harta kita, uang kita, rumah kita, kendaraan kita, perabotan kita, pakaian kita, sepatu kita, makanan kita dan simpanan kita yang lebih dari keperluan kita walaupun diperoleh dengan cara yang halal? Semua itu akan diperkirakan, dihisab dan ditanya, dicerca dan dihina oleh Allah di padang mahsyar nanti karena kita membesarkan dunia dan mengecilkan akhirat.
8. Pernahkah kita renungkan orang-orang yang pernah kita perlakukan secara kasar, kita umpat, kita tipu, kita fitnah, kita hina dan kita aniaya. Baik mereka itu adalah suami kita, isteri kita, ibu bapak kita, kaum kerabat kita, sahabat kita, tetangga kita atau siapa saja. Sudahkah kita meminta maaf dan membersihkan dosa dengan manusia di dunia tanpa menunggu tibanya hari yang dahsyat (hari kiamat)?
9. Apabila Allah memberikan rasa sakit pada kita atau pada orang lain yang kita kasihi (apa pun jenis penyakit itu), dapatkah kita tenangkan hati dengan rasa kesabaran dan kesadaran bahwa sakit adalah kifarah (pengampunan) dosa atau sebagai peningkatan derajat dan pangkat di sisi Allah SWT?
10. Ketika menerima takdir atau rezeki yang tidak sesuai dengan kehendak kita, dapatkah kita merasa redha, karena itulah satu pemberian Allah yang sesuai untuk kita.
11. Di saat sesuatu yang kita inginkan dan cita-citakan tidak kita peroleh, dapatkah kita tenangkan perasaan kita dengan rasa insaf akan kelemahan dan kekurangan diri sebagai hamba Allah yang hina dina, yang menggantungkan hidup mati dan rezeki sepenuhnya pada Allah?
12. Di waktu mendapat nikmat, terasakah di hati bahwa itu adalah sebagai pemberian Allah lalu timbul rasa terima kasih (syukur) pada Allah dan rasa takut kalau-kalau nikmat itu tidak dapat digunakan karena Allah dan berniat sungguh-sungguh untuk menggunakan nikmat itu hanya untuk Allah?
13. Kalau kita miskin dapatkah kita merasa bahagia dengan kemiskinan itu dan merasa lega karena tidak perlu lagi mengurus nikmat Allah? Adakah kita merasa bahwa kemiskinan itu menyebabkan kita tidak perlu lagi mengadu dan meminta pada manusia kecuali pada Allah?
14. Kalau ada orang mencerca kita bisakah hati kita merasa senang dan tenang lalu kita bersikap diam tanpa sakit, susah hati dan dendam. Bahkan kita memaafkan orang itu sambil mendoakan kebaikan untuknya sebab kita merasa bahwa ia telah memberi pahala pada kita melalui cercaannya itu?
Imam As Syafie berpuisi: "Apabila seorang yang jahat mencerca aku, bertambah tinggilah kehormatanku. Tidak ada yang lebih hina kecuali kalau aku yang mencercanya."
15. Begitu juga kalau orang menipu, menganiaya dan mencuri harta kita, mampukah kita relakan saja atas dasar kita ingin mendapat pahala karena menanggung kerugian itu?
16. Di waktu kita merasa bersalah dengan seseorang, apakah datang rasa takut akan kemurkaan Allah pada kita dan sanggupkah kita minta maaf sambil mengakui kesalahan kita?
17. Setelah kita melakukan usaha dan ikhtiar dengan kerja-kerja kita, apakah kita dapat melupakan usaha kita itu dan menyerahkannya kepada Allah? Ataukah kita merasa besar dan terikat dengan usaha itu hingga kita merasa senang dan tenang dengan usaha itu?
18. Kalau orang lain mendapat kesenangan dan kejayaan dapatkah kita merasa gembira, turut bersyukur dan mengharapkan kekalnya nikmat itu bersamanya tanpa hasad dengki dan sakit hati?
19. Setiap kali orang bersalah, lahirkah rasa kasihan kita padanya, di samping ingin membetulkannya tanpa menghina dan mengumpatnya?
20. Kalau ada orang memuji kita, adakah kita merasa susah hati sebab pujian itu dapat merusakkan amalan kita? Dapatkah kita bendung hati dari rasa bangga dan sombong, kemudian mengembalikan pujian pada Allah yang patut menerima pujian dan yang mengaruniakan kemuliaan itu?
21. Bisakah kita menunjukkan rasa kasih sayang dan ramah tamah dengan semua orang sekalipun kepada orang bawahan kita?
22. Selamatkah kita dari jahat (buruk) sangka dan prasangka pada orang lain?
23. Kalau kita diturunkan dari jabatan atau kekayaan kita hilang, selamatkah kita dari rasa kecewa dan putus asa karena merasakan pemberian jabatan dan penurunannya adalah ketentuan Allah? Sebab itu kita merasa redha.
24. Sanggupkah kita bertenggang rasa dengan orang lain di waktu orang itu juga memerlukan apa yang kita perlukan?
25. Apakah kita senantiasa puas dan cukup dengan apa yang ada tanpa mengharapkan apa yang tidak ada?
Susah untuk memberi jawaban pada semua persoalan-persoalan yang telah diajukan di atas karena memang susah untuk melakukan amalan-amalan batin, teramat sulit dan rumit. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak melihat dan tidak memperdulikannya.
Namun, bagi mereka yang betul-betul mau mendekatkan diri pada Allah, di situlah titik tumpuan perhatian dan minatnya. Dia akan berusaha tanpa jemu untuk melakukan amalan-amalan batin dan menyuburkannya sepanjang masa dengan cara melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi). Dia akan mendidik hatinya itu supaya biasa dan suka dengan amalan batin. Bahkan dia sanggup berkorban (mujahadah) untuk itu.
Para ulama berkata: “Perjuangan itu 10 bagian. Satu bagian ialah perjuangan menentang musuh-musuh lahir (orang kafir, munafik, Yahudi dan Nasrani), di waktu-waktu yang tertentu saja (bukan sepanjang masa). Manakala sebagian lagi ialah perjuangan menentang musuh batin (nafsu dan syaitan) yang tiada hentinya yakni sepanjang masa."
Melaksanakan amalan batin memang susah dibandingkan dengan amalan lahir. Tetapi amalan batin itu lebih penting kedudukannya dari amalan yang lain. Sabda Rasulullah SAW : “Bahwasanya Allah tidak memandang akan rupa dan harta kamu, tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (Riwayat Muslim)
Dan Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada kaum itu, hinggalah mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (hati mereka).(Ar Raad: 11)
Kalau hati kita jahat, Allah tidak akan membantu kita dalam berbagai hal. Kalau hati kita rusak Allah sama sekali tidak akan memandang kita. Begitulah keutamaan amalan batin. Tiap umat Islam wajib melakukannya. Kalau kita lalai artinya sepanjang hidup kita berada dalam dosa. Dosa batin yang tidak kita sadari.
Marilah kita bersihkan dosa lahir dan dosa batin kita. Mari kita bermujahadah untuk itu. Moga-moga Allah SWT merestui kita : “Dan mereka yang bermujahadah dalam jalan Kami, Nisaya Kami tunjukan jalan-jalan Kami itu. Sesungguhnya Allah berserta dengan orang yang berbuat baik. (Al Ankabut: 69)
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.