Memimpin tidak semudah membalikan telapak tangan, apalagi yang dipimpin adalah sebuah negara yang berjumlah penduduk banyak, beragam budaya dan bahasa, beragam karekter, wilayah yang sangat luas baik darat maupun laut hampir sama luasnya dengan Eropa.
Menjadi pemimpin di Indonesia hal yang sangat prioritas adalah mampu mempersatukan setiap elemen bangsa dalam satu visi dan misi. Kemampuan pemimpin untuk mempersatukan bangsa tidaklah mudah. Track rekord untuk menjadi pemimpin pasti menjadi perhatian dari obyek yang akan dipersatukan yaitu setiap elemen bangsa. Pemimpin harus mampu mengambil hati rakyat sehingga rakyat mencintainya tanpa diiming-imingi materi. Rakyat mencintai pemimpinnya karena kerja keras pemimpin dalam memperhatikan setiap kebutuhan rakyatnya dan rakyat merasa aman karena kepemimpinannya. Pemimpin mampu memecahkan berbagai macam persoalan yang berkembang di masyarakat dan mampu menangani perubahan cepat akibat globalisasi yang berpengaruh besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemimpin harus mempunyai kemauan kuat untuk memajukan negara yang dituangkan dalam program-program negara yang visioner. Program-program visioner hanya akan menjadi angan-angan bila tidak ada dukungan dari rakyat.
Bila seorang pemimpin bukan seorang yang visioner, maka ia hanya akan terjebak kepada interpretasi dari fenomena seperti yang sering terjadi saat ini, dimana dengan kekuasaan yang dimilikinya dia bisa menjerat seseorang. Ketika kekuasaan menjadi yang utama dan agung bagi seorang pemimpin, maka kredibelitas mulai mengalami erosi. Birahi kekuasaan ini telah menjerat banyak pemimpin kedalam kekuasaan otoriter, rezim diktator, kekuasaan tiranik dan pemerintah fasis dan dalam bentuknya yang paling sederhana kita namakan premanisme. Mudah sekali menemukan kisah-kisah tentang para pemimpin dengan unlimited power. “Mereka memimpin untuk berkuasa dan berkuasa untuk menjadi pemimpin” artinya mereka tidak mau lengser.
Menurut gardner, ada tiga narasi penting yang menekan urgensi visi kepemimpinan, yakni “menciptakan pandangan hidup masyarakat, mengangkat orang keluar dari kepicikan dan mengejar tujuan….”. Pemaparan ini mengantarkan kita pada intisari kepemimpinan yang unggul, yakni kredibilitas dan visi.
Kredibilitas bersentuhan dengan integritas, autensitas atau nurani pemimpin, sedangkan visi adalah “mata” jati diri seorang pemimpin. Pemimpin yang kredibel tanpa visi adalah bagai katak di bawah tempurung, tidak pernah bisa melihat cakrawala yang membentang dan menembus batas-batas kekinian. Mata nuraninya mungkin jernih, tetapi tidak bisa melihat dunia luas, dunia yang akan datang.
Pemimpin yang visioner tetapi tidak kredibel adalah seperti badut di atas pangung sirkus. Opini-opininya hanya bisa menembus angkasa, membentang jauh melampaui zamannya, namun nuraninya yang keruh selalu mengekang langkah kakinya. Jangan memburu bayangan, sehinga lepas apa yang sebenarnya hendak ditangkap. Pemimpin yang kredibel tanpa visi hanyalah bayangan kosong, dan pemimpin visioner yang tidak kredibel hanya memberikan bayangan kosong.
Dari berbagai referensi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan seorang pemimpin agar tidak mengalami myopia kepemimpinan. Pertama, seorang pemimpin harus benar-benar menyadari bahwa perannya adalah memimpin manusia dan bukan berkuasa atas manusia.
Kedua, seorang pemimpin harus belajar bersikap kritis, belajar menilai secara lebih terbuka terhadap opsi-opsi, belajar melakukan komparasi terhadap perubahan-perubahan kepemimpinannya, dan berusaha untuk tidak terjebak ke dalam satu penilaian tunggal.
Ketiga, pemimpin harus bisa menyikapi perubahan dan tantangan secara arif dan dewasa. Adakalanya wait and see, terkadang harus bersikap konservasif, tetapi bias juga agresif dan provokatif, selama didukung oleh fakta yang sahih dan opini yang teruji.
Hal-hal yang perlu diperhatikan jika ingin menjadi seorang pemimpin kredibel dan visioner yaitu, maka ada hal yang harus disiapkan antara lain; jadilah pemimpin pembelajar, jadilah pemimpin visioner
Berupayalah menjadi seorang pemimpin yang membangun kredibilitas melalui integritas, otoritas dan kapasitas. Membangun integritas berarti memperkuat moratlias dan karakter seorang pemimpin. Otokritas, berbasis pada legitimasi formal dan wewenang resmi jabatan. Membangun otoritas berarti memperkuat aspek legal-yuridis. Kapabilitas, berbasis pada kompetensi teknis dan keahlian prefesional. Membangun kompetensi berati memperkuat keahlian teknis professional.
Jadilah seorang pemimpin yang baik harus banyak meluangkan waktu untuk berfikir dan belajar untuk memperluasr wawasan, menepatkan jarak pandang dan memperkuat daya lihatnya, sehingga ia mampu mengantisipasi peluang dan bahaya yang dibawa oleh perubahan yang dataing tiada putus-putusnya.
Apa itu visioner
Seperti apa pemimpin visioner itu? Bung Hatta dalam majalah Daulat Rakyat, 10 September 1933, mengambarkan syarat seorang pemimpin visinoner ini dalam satu kalimat yang lugas: iman yang teguh, watak yang kukuh dan urat saraf yang kuat.
Sementara Rhenald Kasali, pakar manajemen Universitas Indonesia, menganalogikan pemimpin visioner seperti mata. Ia bukan sekadar mata yang bergerak secara acak, melainkan harus menjadi mata yang jeli melihat sesuatu yang belum terlihat atau bahkan sama sekali tidak terlihat rakyatnya. Bukan itu saja, ia pun sanggup menyakinkan dan mengajak rakyatnya untuk memperjuangkan pandangan masa depannya itu.
Untuk menjadi pemimpin bermata jeli ((visionary leader), seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Jika dielaborasi, maka pemimpin visioner itu mempunyai ciri antara lain; pertama, berkarakter. Pemimpin berkarakter sudah tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.
Kedua, kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental “tempe”, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan diantara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula berkuasa siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Ia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan. Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan tehnis memimpin.
Ketiga, inspirasi keteladanan. Bisa jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan kini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang terdekatnya.
Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istliah makoto, artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).
Keempat, menumbuhkan harapan. Kita tahu tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah kini begitu rendah. Pemerintah seperti bebek lumpuh yang kehilangan daya. Alih-alih mampu menggugah dan menggerakkan rakyatnya, bahkan niat baik pemerintah pun acapkali disalahpahami oleh rakyatnya sendiri. Pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin yang mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya.
Dalam Islam ada adagium yang menyangkut soal ini: “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka (Tasharruf al-imam ala ar-ra’iyyah manutun bi al-maslahah). Jelas sudah, dalam Islam seorang pemimpin yang melalaikan kewajibannya mensejahterakan rakyatnya teramat dicela, sebab ia gagal menumbuhkan harapan bagi rakyatnya.
Senin, 15 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.