Selasa, 12 Januari 2010

Khilafah dalam Tinjauan Syar’i

Kesadaran terhadap penegakkan khilafah, belakangan ini semakin mengemuka. Ditandai semakin maraknya kelompok-kelompok islam yang menyerukan kepada umat Islam agar bersatu padu dalam satu wadah ‘khilafah’. Hal ini tidak terlepas dari upaya keji kaum Zionis Yahudi dan Nasrani yang kian hari semakin brutal memerangi muslimin dimanapun berada.


Kerinduan terhadap kesatuan dan persatuan umat Islam sedunia telah mengantarkan kepada upaya penegakkan syari’ah ini. Tetapi pandangan-pandangan tentang penegakkan khilafah cukup beragam. Penegakkan khilafah harus dengan politik, menurut sebagian orang. Karena khilafah adalah institusi politik yang telah di-nubuwwahkan-kan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam sejak lama. Ada juga yang menganggapan bahwa pada masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin adalah berbentuk negara Islam, republik Islam dan Nabi Muhammad selain sebagai Rasul, ia juga sebagai kepala negara dan Madinah adalah negaranya. Apakah ini benar menurut syari’at Allah?

Perbedaan Khilafah dengan Negara

Adanya ungkapan bahwa “Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan Rasulullah, terjadi saat Bai’at Aqobah II. Bai’at itulah momentum berdirinya negara khilafah Islam. Ini mirip dengan proklamasi 17 Agustus 1945,” pendapat ini perlu dikaji lebih dalam. Khilafah adalah kepemimpinan sentral (umum) bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia. Sedangkan Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik dan merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik, (Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo, 1998:38).

Menurut Roger H. Setountan negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Sementara Max Weber mengatakan negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli terhadap penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.

Negara memiliki batas-batas teritorial baik secara de facto maupun de jure, bersifat monopoli dalam menetapkan tujuannya, pemerintah memiliki hak penuh untuk membentuk, menyelenggarakan serta memaksakan kekuasaannya untuk menjalankan undang-undang negara tersebut, dan warga negaranya diikat oleh rasa Nasionalisme kebangsaan serta cita-cita bersama.

Sedangkan khilafah adalah pelanjut tugas kepemimpinan dalam membimbing umat Islam kepada mardhatillah, amar ma’ruf nahi mungkar, menegakkan keadilan dan kedamaian di muka bumi, figurnya adalah rasulullah sebagai teladan kepemimpinan, pedoman pokoknya adalah Al Quran dan Sunnah, prinsipnya bukan Demokrasi ataupun Teokrasi ala gereja tapi musyawarah atas dasar iman dan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dengan jalan paksaan.

Penyimpangan kekhilafahan

Penyimpangan kekhilafahan sebagai nubuwwah kepada system politik (negara/kerajaan), terjadi pertama kali pada masa perubahan dari Khilafah ‘Ala minhajin nubuwwah menjadi mulkan Adhon dan dilanjutkan dengan mulkan jabariyyah, walaupun pada saat itu muslimin tetap bersatu dan memiliki seorang pemimpin. Dalam tarikh (sejarah) disebutkan penyimpangan itu terjadi pada masa Muawiyah dan berakhir pada masa Sultan Abdul Majid bin Abdul Azis pada masa Turki Utsmani. (Ulil Amri, Abul Hidayat S. 2005)

Secara umum bentuk penyimpangan yang sangat prinsipil ialah terjadinya pergeseran khithoh kenabian atau khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (kepemimpinan yang mengikuti jejak kenabian) menjadi Mulkan atau kerajaan yang bersifat absolute, otoriter dan ashobiyah (mempertahankan dinasti keturunan), dimana gelar khalifah tetap digunakan pada masa mulkan. Dan kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa mulkan tidak lagi berdasarkan ibadah dan melaksanakan hukum Allah dengan cara musyawarah, melainkan atas kepentingan interes pribadi atau dinasti yang otoriter.

Rasulullah telah mensinyalir hal tersebut dengan sabdanya: “Khilafah pada ummatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu”. (HR. Abu Dawud)

Menurut Safinah seorang sahabat Nabi yang telah melakukan penelitian, masa kekhalifahan itu benar 30 tahun, yaitu masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq 2 tahun, kekhalifahan Umar bin khaththab 10 tahun, kekhalifahan Utsman bin affan 12 tahun, dan masa kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib 6 tahun. Selanjutnya adalah kerajaan.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan hadits dari Nu’man bin Basyir, dari Hidzaifah bin Al-Yaman ra., ia berkata bahwa rasulullah bersabda:

“Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendakinya untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adhon), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

Selaras dengan hadits di atas, tokoh intelektual Islam, Abul ‘Ala al Maududi mengatakan masa Muawiyyah merupakan masa peralihan dari system khalifah kepada system kerajaan. (Al Maududi “Khilafah dan Kerajaan”). Senada dengannya, DR. Amien Rais mengatakan dalam Majalah Panjimas bahwa sebenarnya Daulah Umayyah dan Daulah Abassiyyah sudah keluar dari syariat Islam itu sendiri. (Agus E. Santoso “Tidak ada Negara Islam”).

Dr.Qomarudin Khan, seorang cendekiawan muslim Pakistan dalam kajiannya menyimpulkan bahwa: “Al-Qur’an sama sekali tidak menyediakan prinsip hukum ketatanegaraan ataupun teori politik. Teori politik dalam Islam telah berkembang bukan dari Al-Qur’an, tetapi dari situasi kesejarahan dan karena itu tidak memiliki kesucian religius dalam dirinya.” (Khan, 1987: 89).

Kekeliruan cara pandang dalam membedakan antara konsep negara, kerajaan dengan khilafah tidak terjadi saat ini saja, Abu Sufyan seorang ‘pentolan’ Quraisy yang juga cendikiawan dikalangan arab saat itu, juga salah dalam mempersepsikan masalah nubuwwah, ketika Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Makkah dalam peristiwa Fathul Makkah. Saat itu Abu Sufyan yang baru memeluk Islam bersama Abbas bin Abd Muthalib menyaksikan iring-iringan barisan muslimin. Abu Sufyan berkata penuh takjub;

“Tidak seorang pun yang dapat melawan tentara ini. Demi Allah, hai Abal Fadhal (Abbas), kini kekuasaan kerajaan keponakanmu (Muhammad) telah menjadi besar.” Abbas menjawab: “Hai Abu Sufyan, itu adalah Kenabian/nubuwwah!” Abu Sufyan berkata: “Oh, Ya! Kalau begitu benar.” (Ibnu Hisyam, bab Dzikrul Asbab Al Mujibah Al Masira ila Makkah, jilid 3 (juz 3 dan 4), halaman 404).

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah saw telah menyatakan bahwa beliau bukanlah seorang raja, sebagaimana yang beliau katakan ketika seorang laki-laki datang kepadanya dengan diliputi rasa takut, “Janganlah engkau takut. Tenanglah! Sesungguhnya aku ini bukanlah seorang raja, sesungguhnya aku seorang putera ibu Quraisy yang biasa makan dendeng.” (HR.Bukhari)

Dua hadits di atas mengisyaratkan kepada muslimin bahwa rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam beserta pasukannya bukanlah seorang raja dengan kekuasaannya, juga bukan seorang kepala Negara dengan pemerintahannya. Beliau adalah seorang putra Quraisy yang oleh Allah Azza wa Jalla telah diberi kepercayaan untuk membimbing manusia kepada shiratal mustakim, jalan keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Siapakah Khilafah Itu?

Merujuk kepada hadits Hudzaifah bin Yaman yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabul fitannya, dapat disimpulkan, bahwa disaat banyak manusia menyeru kepada neraka, memberi petunjuk bukan dengan petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasalam dan banyak bercampur antara hak dan batil, maka Rasulullah memerintahkan dengan sabdanya: “Tetapilah oelh kalian Jama’ah Muslimin dan Imam mereka.”

Sahabat Hudzaifah bertanya, sikap apa yang harus diambil jika Jama’ah imamah belum ada? Rasul menjawab “fa’tajil tilka firoqo kullaha,” jauhi oleh kamu firqah-firqah itu semua.

Inilah konsekuensi jika belum ada Jama’ah Muslimin. Seluruh muslimin harus menjauhi firqah-firqah yang ada. Tetapi sebaliknya, jika sudah ada Jama’ah Muslimin yang ditetapi, maka mendukung serta menguatkannya adalah perintah yang dikemukakan Rasulullah.

Takhtim

Khilafah yang wajib dibangun bukanlah khilafah yang berkiblat kepada system demokrasi. Suara terbanyak bukan sebagai ketetapan sebuah keputusan dalam khilafah. Bukan pula monarki yang biasa membuat kerusakan di muka bumi. Yang harus di tegakkan dan dan dibangun adalah khilafah yang bermanhaj nubuwwah, yang membawa misi rahmatan lil alamin.

Seorang khalifah yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah kerajaan-kerajaan runtuh, bukanlah makhluk yang diciptakan dari cahaya, ia bukan makhluk yang tak pernah salah sehingga tidak memerlukan bantuan dari saudaranya. Begitupula ia bukanlah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari Api, sehingga tidak pernah ada kebaikan pada dirinya.

Khalifah yang dikehendaki oleh Allah ta’ala adalah makhluk yang diciptakan dari air hina dan saripati tanah. Sehingga kadang ia meninggalkan jejak hitam tetapi tidak sedikit mengukir kemuliaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.