Gencarnya gerakan Ghozwul Fikri yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam telah membuat beberapa konsep syariat Islam yang begitu fundamental dikalangan muslimin menjadi bias pengertiannya. Seperti halnya dengan kekhilafahan (kepemimpinan sentral muslimin) oleh sebagian muslimin telah salah diartikan bahkan banyak dilupakan. Mereka beranggapan bahwa kekhilafahan merupakan konsep kenegaraan, atau kerajaan, bukan nubuwwah/wahyu.
Kekeliruan cara pandang dalam membedakan antara konsep negara, kerajaan dengan khilafah tidak terjadi saat ini saja, Abu Sufyan seorang ‘pentolan’ Quraisy yang juga cendikiawan dikalangan arab saat itu, juga salah dalam mempersepsikan masalah nubuwwah, ketika Rasulullah saw bersama kaum muslimin memasuki Makkah dalam peristiwa Fathul Makkah. Saat itu Abu Sufyan yang baru memeluk Islam bersama Abbas bin Abd Muthalib menyaksikan iring-iringan barisan muslimin. Abu Sufyan berkata penuh takjub; “Tidak seorang pun yang dapat melawan tentara ini. Demi Allah, hai Abal Fadhal (Abbas), kini kekuasaan kerajaan keponakanmu (Muhammad) telah menjadi besar.” Abbas menjawab: “Hai Abu Sufyan, itu adalah Kenabian/nubuwwah!” Abu Sufyan berkata: “Oh, Ya! Kalau begitu benar.” (Ibnu Hisyam, bab Dzikrul Asbab Al Mujibah Al Masira ila Makkah, jilid 3 (juz 3 dan 4), halaman 404).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah saw telah menyatakan bahwa beliau bukanlah seorang raja, sebagaimana yang beliau katakan ketika seorang laki-laki datang kepadanya dengan diliputi rasa takut,“Janganlah engkau takut. Tenanglah! Sesungguhnya aku ini bukanlah seorang raja, sesungguhnya aku seorang putera ibu Quraisy yang biasa makan dendeng.” (HR.Bukhari)
Dua hadits di atas mengisyaratkan kepada muslimin bahwa rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam beserta pasukannya bukanlah seorang raja dengan kekuasaannya, juga bukan seorang kepala Negara dengan pemerintahannya. Beliau adalah seorang putra Quraisy yang oleh Allah Azza wa Jalla telah diberi kepercayaan untuk membimbing manusia kepada shiratal mustakim, jalan keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Namun demikian, kekeliruan pandangan ini semakin menjadi ketika terjadi pergeseran system kekhilafahan kepada kerajaan/mulkan oleh Muawiyah dan pasukannya, dimana gelar khalifah tetap digunakan pada masa mulkan.
Rasulullah telah mensinyalir hal tersebut dengan sabdanya: “Khilafah pada ummatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu”. (HR. Abu Dawud)
Menurut Safinah seorang sahabat Nabi yang telah melakukan penelitian, masa kekhalifahan itu benar 30 tahun, yaitu masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq 2 tahun, kekhalifahan Umar bin khaththab 10 tahun, kekhalifahan Utsman bin affan 12 tahun, dan masa kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib 6 tahun. Selanjutnya adalah kerajaan.
Selaras dengan hadits di atas, tokoh intelektual Islam, Abul ‘Ala al Maududi mengatakan masa Muawiyyah merupakan masa peralihan dari system khalifah kepada system kerajaan. (Al Maududi “Khilafah dan Kerajaan”). Senada dengannya, DR. Amien Rais mengatakan dalam Majalah Panjimas bahwa sebenarnya Daulah Umayyah dan Daulah Abassiyyah sudah keluar dari syariat Islam itu sendiri. (Agus E. Santoso “Tidak ada Negara Islam”).
Dr.Qomarudin Khan, seorang cendekiawan muslim Pakistan dalam kajiannya menyimpulkan bahwa: “Al-Qur’an sama sekali tidak menyediakan prinsip hukum ketatanegaraan ataupun teori politik. Teori politik dalam Islam telah berkembang bukan dari Al-Qur’an, tetapi dari situasi kesejarahan dan karena itu tidak memiliki kesucian religius dalam dirinya.” (Khan, 1987: 89).
Maka untuk mengembalikan pemahaman muslimin yang telah ‘terkontaminasi’, perlu kiranya mengetahui perbedaan yang mendasar antara Khilafah, Negara dan Kerajaan, sehingga dapat dipahami apakah Nubuwwah Rasulullah saw yang diperoleh langsung dari Allah SWT itu sama dengan produk ra’yu orang-orang Yahudi dan Nasrani (Plato, Aristoteles, Socrates dkk).
Khilafah
Khilafah secara bahasa merupakan bentukan kata mashdar Takhallafa yang berarti mengikuti atau menggantikan. Seseorang dikatakan takhallafa bila ia berada di belakang orang lain, mengikuti orang lain dan menggantikan tempatnya, serta menjalankan fungsi yang sama dengan yang digantikannya (Ali Abdur Raziq, khilafah dan pemerintahan Islam, 1985). Sehingga seorang khalifah merupakan penganti Rasulullah saw dalam mensyiarkan dakwah islamiyah ke penjuru dunia, para khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil, hanya saja mereka tidak menerima wahyu.
Al-Baidhawi mengatakan bahwa khilafah/imamah adalah pernyataan yang berkenaan dengan penggantian fungsi Rasulullah saw oleh seseorang untuk menjalankan undang-undang syari’at dan melestarikan ajaran-ajaran agama dalam satu garis yang mesti diikuti oleh ummat (Abdur Raziq, 1985).
Adapun system yang berlaku dalam kekhilafahan sebagai berikut;
a. Rahmatan lil Alamin, Islam diturunkan sebagai rahmatan bagi semesta alam, tidak mengenal batas, ikatan geografis, bahasa maupun kebangsaan (nationalisme). (QS. Al-Anbiya: 107)
b. Sebagai pelanjut tugas kerasulan Nabi Muhammad saw, yaitu membimbing umat Islam kepada mardhatillah, amarma’ruf nahi munkar, menegakkan keadilan dan kedamaian di muka bumi ini.
c. Undang-undang yang berlaku adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, hukum adalah mutlak milik Allah Ta’ala.(QS. Al-Maidah: 48)
d. Prinsipnya bukan demokrasi atau teokrasi ala gereja, namun berprinsip bahwa kebenaran dan kekuasaan mutlak hanya milik Allah semata.
e. Pelaksanaan UU bukanlah dengan jalan paksaan, seperti negara atau kerajaan, tetapi faktor iman dan taqwa kepada Allah swt. Firman Allah, “Tidak ada paksaan dalam agama…” (QS. Al-Baqarah:157)
Negara
Roger H. Soltan mendefinisikan: “Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat”. Sementara Max Wabber mengatakan: “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli terhadap penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Negara merupakan suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang menuntut warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui pengawasan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Bidiarjo, 1998; 38).
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa suatu Negara memiliki sifat-sifat sebagai berikut;
a. Sifat memaksa, sifat paksaan ini terdapat dalam mentaati undang-undang dan hukum yang dibuat. Maka ciri khas dari suatu negara adalah memiliki tenaga militer yang tetap agar kekuasaannya tetap berjalan stabil.
b. Sifat monopoli, sifat ini terjadi dalam menetapkan tujuan bersama masyarakatnya oleh para pejabat.
c. Sifat mencakup semua, bahwa perundang-undangan adalah diberlakuakan secara umum tanpa kecuali. Contohnya adalah pajak yang diambil secara sukarela ataupun paksaan oleh pemerintah.
Unsur-Unsur Negara.
i. Wilayah teritorial, ditandai dengan batasan wilayah yang jelas secara de facto ataupun de jure.
ii. Penduduk, warga negara yang di ikat oleh rasa nasionalisme kebangsaan serta cita-cita bersama warga negara tersebut.
iii. Pemerintahan, yaitu penguasa yang memiliki hak penuh untuk membentuk, menyelengarakan serta memaksakan kekuasaannya untuk menjalankan undang-undang negara tersebut.
iv. Kedaulatan, kekuasaan tertinggi untuk membentuk UU dan melaksanakannya dengan segala cara yang tersedia. Kedaulatan juga berarti mempertahankan kedaulatan kedalam (internal sovereignty) dan kedaulatan keluar (external sovereignty).
Kerajaan
System kerajaan merupakan suatu system pemerintahan yang ada di dalam Negara. Bila system parlemen ataupun presidensiil adalah system yang berdasarkan pada demokrasi, maka system kerajaan adalah system yang lebih cenderung kepada system monarki absolute dalam penggunaan kekuasaannya.
Kerajaan adalah bentuk Negara yang dikuasai oleh golongan tertentu dan termasuk kedalam system pemerintahan yang tertutup. Hal itulah yang membedakan system kerajaan dengan system demokrasi dalam ketatanegaraan. Tidak ada pembagian kekuasaan (trias politika) dalam system ini karena negara adalah milik raja dan keluarga kerajaan.
Ada bebrapa ciri mendasar dari system kerajaan ini, yaitu:
i. Suksesi jabatan yang tertutup, bila raja meninggal maka segera digantikan
dengan putra mahkota selanjutnya sebagai penerus kekuasaan raja. Sesuai
dengan semboyan Perancis de roi est mort, vive le roi, yang berarti bila
raja wafat, hiduplah raja.
ii. Sifat feodalisme yang tinggi dari raja dan keluarganya.
iii. Pengambilan pajak yang dipaksakan.
iv. Kebenaran absolute bagi sang raja. Keputusan raja adalah benar dan harus
dilaksanakan tanpa reserve.
v. Raja menguasai Lembaga Yudikatif, sehingga hukum hanya ditegakkan untuk
rakyat saja tanpa dapat menyentuh raja dan keluarganya.
vi. Sifat diktator dan otoriter merupakan suatu kelumrahan, sementar asas
musyawarah tergantung pada kemauan dan kebijakan raja.
Takhtim
Secara umum antara Negara Kerajaan dengan Negara Demokrasi yang membedakannya adalah system pemerintahannya saja, namun hakikat keduanya adalah sama, yaitu bertahan pada lingkup nasionalisme dan ashobiyyah semata-mata.
Sedangkan Khilafah merupakan kemurnian kelanjutan perjuangan Rasulullah saw dalam rangka menegakkan Islam, bukan untuk merebut kekuasaan, apalagi membangun Negara atau kerajaan. Melainkan menyebarkan ajaran islam keseluruh muka bumi dengan satu tujuan mengapai keselamatan di dunia dan akhirat dengan keridhoan Allah Subhanahu wa ta'ala.
Selasa, 12 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selama anda membaca tulisan dalam blog ini, maka silahkan komentari.